Haram
“ Jangan menangis Bu. Biarkan lelaki itu pergi. Aku janji akan menggantikan sosok dia untukmu. Sosok yang tidak aku kenali. Hujan dimatamu kan ku ganti dengan mentari. Lendir keringat itu kan ku jadikan darah untuk penguat tubuhku”.
“ Jangan mengeluh Bu. Walau aku tidak sepintar Habibie, tidak sekuat Chris John, ku kan berusaha menjadi tongkat untukmu berjalan. Menjadi sapu tangan lusuh untuk meresapi lendir keringatmu, Bu”.
“ Bulan masih memancar dengan warna keemasan. Walau aku tertegun menatap sosok gadis dibulan itu, bagiku Ibu masih tetap number satu dihatiku. Malam yang kelam menjadi indah dan menggairahkan. Bola mataku menjilati taburan bintang-bintang seperti titik embun dipagi hari ”.
“ Jangan pernah menyerah Bu. Aku akan hancur melihat Ibu lelah terbaring tanpa daya. Aku mati rasa jika Ibu tiada. Kehangatan kasihmu masih ku butuhkan sepanjang hidupku ”.
“ Tidurlah Bu. Tidur bersama dia dalam mimpimu. Ketika mentari muncul dari peraduannya, temani aku menjalani hidup ini, Bu! Malam masih panjang dan siang pasti akan datang”.
“Aku tahu ruangan ini. Ruangan yang dulu penuh cinta. Sayang sekali tadi siang beraroma dusta”.
Tangisan Ibu pecah seketika. Air matanya perlahan menuruni wajahnya yang putih dan sedikit keriput berakhir dibibirnya yang tidak simetris. Tangannya yang lemah gemulai mengusapi air mata yang sedari tadi berjatuhan tanpa henti di wajahnya. Basah. Jilbabnya juga ikutan basah. Bukan karena hujan, tetapi karena air mata yang tiada hentinya berderai.
***
Suara deritan pintu terdengar. Pintu rapuh seperti hati Ibu, perlahan-lahan terbuka. Ibu keluar dari kamar mungilnya. Menyediakan sarapan untukku. Kami sarapan bersama, aku dan Ibu. Ya, biasanya hanya makan malam saja kami bersama-sama. Makan siang ku selalu dikantin. Tapi kali ini aku menyempatkan waktu untuk sarapan berdua Ibu. Namun, makan malam selalu berdua. Makan malam adalah waktu kami bersama, tidak bisa diganggu-gugat.
“ Ibu belum pernah cerita tentang dia?” Ibu tiba-tiba memandangku lurus-lurus.
“ Lelaki semalam?.”
“ Ya.“
“ Untuk apa? Membuat ibu menangis lagi?. “
Tiba- tiba Ibu menarik kedua tanganku dan menggenggamnya. Kami saling diam, saling pandang. Pagi yang hening. Aku menunggu kata-kata ibu, tapi Ibu hanya menghela nafas.
“ Kenapa?.”
“ Dia Ayahmu. ”
“ Ayah? “
Kata yang ganjil. Kata yang tak ku pahami dan pernah membuatku menjadi bahan olok-olok teman. Guru Agama di sekolah pernah bercerita tentang nabi isya yang dilahirkan tanpa Ayah. Tapi, aku bukan anak haram. Dalam satu hal, aku sama seperti nabi isya, tidak punya ayah. Bedanya, nabi isya memang lahir tanpa Ayah. Tapi, aku dilahirkan karena ada Ayah. Hanya saja dia…?
Teman-teman ku mempunyai Ayah. Kadangkala lelaki itu menjemput mereka di sekolah. Ayah dan anak saling ketawa, mesra, bercakap riang. Kadangkala aku merindukan Ayah. Rindu yang sangat membingungkan. Layaknya menginginkan sesuatu yang tidak pasti seperti tangisan bayi di tengah malam.
“ Ya.“
“ Tidak. Dia bukan Ayahku. Seorang ayah tidak akan meninggalkan keluarganya. Membiarkan aku membesar dengan bahan ejekan orang. “
“ Sebaiknya kamu tinggal dengan Ayahmu,” kata Ibu dengan suara serak.
“ Tidak. Aku tidak sudi.”
“ Mengapa dia meninggalkan kita? Mengapa dia membuat Ibu menangis?,” Kemarahan menggumpal di tenggorokan.
“ Besok kamu tanyai dia. Mengapa?.”
Pertanyaan itu juga ada dikepalaku selama lebih dari tujuh belas tahun ini. “Mengapa?.” Air mata meleleh di pipi Ibu yang mulai keriput.
“ Aku hanya ingin tinggal bersama Ibu.”
“ Tapi kamu harus mendapatkan pendidikan yang layak.”
“ Pendidikan yang layak hanya bersama Ibu.”
Aku berkeputusan untuk tetap bersama Ibu. Hingga Allah memisahkan kami. Aku juga butuh Ayah. Tapi, yang paling ku butuh adalah Ibu.
Ayah meninggalkan kami saat aku masih meringkuk dalam rahim Ibu, belum tentu lahir hidup atau mati. Ibu hamil 3 bulan. Ayah menikahi wanita pilihan Ibunya. Aku benci nenek. Hanya karena harta, nenek sanggup mengorbankan aku dan Ibu. Keluarga Ayah, anaknya sendiri.
Ahh, biarlah aku dan hidup sederhana. Tanpa duka dan air mata. Walaupun Ayah sanggup untuk membiayai kuliahku dan tinggal bersamanya. Aku tidak sanggup meninggalkan Ibu. Namun, beberapa minggu ini kesehatan Ibu makin memburuk. Sekarang Ibu memang sedang sakit. Ibu jarang berbicara denganku. Kemarin, ia ku bawa ke dokter. Sakit pada tubuh bisa diobati. Sakit pada hati sampai mati.
***
“ Jangan diingat lagi Bu. Biarlah peristiwa yang membuat Ibu mengeluarkan air mata itu berakhir sampai disini.”
“ Jangan tinggalkan aku Bu. Aku masih ingin mendengarkan dongeng Ibu tentang kasih Ibu tiada bertepi. Aku masih butuhmu, Bu.”
Namun, kata-kata Ibu makin sayup semenjak kehadiran lelaki itu…..
By; Afriyanti
Mahasiswi Ilmu Komunikasi UIN SUSKA Riau
Aktif di Sekolah Menulis Paragraf angkatan II
0 komentar:
Posting Komentar